POSISI BIROKRASI DALAM PEMERINTAHAN

POSISI BIROKRASI DALAM PEMERINTAHAN

Birokrasi publik dan pemerintahan adalah satu paket. Kini, hampir seluruh pemerintahan di dunia mengalami reformasi dan reorganisasi. Hal ini misalnya dibuktikan dengan karya Samuel P. Huntington mengenai gelombang demokratisasi yang tiga gelombang itu. Di dalam karya tersebut, Huntington menyebutkan Negara-negara di dunia mengalami aneka perubahan dari eksklusivitas, inklusivitas, dan kadang kembali berbalik ke arah eksklusivitas kembali. Dalam perubahan-perubahan tersebut, birokrasi selaku “mesin” pemerintah yang mengimplementasikan kebijakan “harian” Negara juga mengalami perubahan.

Persoalan umum yang dihadapi birokrasi publik, terkait masalah demokrasi, adalah efesiensi/inefisiensi dan ketidakmampuan pemerintahan me-manage dirinya selaku sebuah organisasi. Persoalan umum lain Negara demokratis adalah, bagaimana memperkuat kapasitas pemerintah dalam memproses tuntutan dari warganegara serta responsivitas mereka.1 Potret Indonesia

Dalam menghadapi persoalan ini, kerap pemerintah di setiap Negara menerapkan apa yang dinamakan New Public Management (NPM).2 NPM adalah pelembagaan teknik-teknik manajemen yang membuat sektor publik atau birokrasi Negara berfungsi layaknya perusahaan swasta, seraya menekankan peran pemerintah selaku penyedia jasa kepada para “pelanggannya.” Dalam NPM, warganegara diposisikan layaknya “customer” yang dapat memilih layanan-layanan tertentu yang akan mereka terima dari pemerintah.

Selain penerapan NPM, upaya lain guna mengefektifkan layanan pemerintah kepada warganegara adalah pelibatan publik secara lebih langsung dalam memerintah dan memilih kebijakan. Ini misalnya terjadi di Amerika Serikat seperti yang dilaporkan National Performance Review tahun 1993. Di sana, pelibatan publik ini dilakukan dengan cara penguatan kapasitas warganegara biasa dan eselon birokrasi tingkat bawah untuk mempengaruhi kebijakan dan gaya administrasi pemerintahan. Di Kanada, sebuah program bertajuk PS 2000 dan Program for Citizen Engagement juga senada, yaitu memberi kesempatan yang lebih besar kepada warganegara untuk terlibat secara aktif di sektor publik.

Governing dan Governance

Kajian Birokrasi Publik dan Pemerintahan menjadi lebih menarik dikaji jika dibedakan terlebih dulu dua konsep berikut, yaitu Governing (mengatur) dan Governance (memerintah). Governance memiliki nama lain “empowerment” (pemberdayaan) dan “participatory governing” (pemerintahan yang partisipatif). Logika dasar dari governance adalah partisipasi yang lebih besar dari warganegara dalam menyusun dan melaksanan kebijakan akan mempertinggi kualitas pemerintahan. Logika ini didasarkan pada asumsi demokrasi dan efisiensi administrasi Negara.

Asumsi demokrasi menggariskan publik harus punya pengaruh yang lebih besar atas setiap kebijakan yang mengatasnamakan mereka. Dalam demokrasi representatif memang sudah ada pengaruh ini, tetapi hanya secara periodik di dalam pemilu saja. Selain itu, administrasi publik pun dapat lebih didemokratiskan sehingga rata-rata pekerja sektor publik dapat menentukan sifat pekerjaan mereka serta pengaturan kebijakan di dalam organisasi secara keseluruhan.

Sementara itu, logika administrasi menyebutkan bahwa berdasarkan literatur manajemen, jika suatu organisasi dapat dibuat jadi lebih terbuka dan partisipatif, para pekerja akan lebih termotivasi dalam menginvestasikan waktu dan energi mereka demi organisasi. Eselon birokrasi tingkat bawah punya kumpulan informasi seputar “klien” (warganegara) yang mereka beri pelayanan, sehingga mereka tentu tahu kebutuhan dasar mereka. Jika mereka (para eselon bawah ini) diberikan kesempatan berimprovisasi, maka performasi birokrasi Negara secara otomatis akan menaik.

Trust dan Legitimasi. Masalah dasar dari birokrasi publik adalah “trust” (kepercayaan) dan “legitimacy” (keabsahan). Kini telah meruyak kabar seputar ketidakpercayaan masyarakat atas birokrasi Negara. Korupsi, rente, kelambanan, merupakan beberapa keluhan di antaranya. Dengan kata lain, trus warganegara atas birokrasi Negara berada dalam titik rendah. Warganegara pun merasa “tidak percaya diri” ketika berhadapan dengan birokrasi Negara, yang salah satunya diakibatkan ketiadaan “trust” ini.

Hilangnya “trust” juga merupakan hasil dari ketidakmampuan warganegara dalam menentukan pola kebijakan pemerintah. Sebab itu, sebagai jalan keluar, perlu dibangun sarana pelibatan dan pemberdayaan warganegara yang mampu menutupi hilangnya “trus” ini.

Di sisi lain, “legitimasi” pun menjadi masalah tersendiri. Legitimasi berkait dengan masalah pentingnya masyarakat sipil dalam pemerintahan. Asumsinya adalah, agar efektif secara demokratis, pemerintahan harus didukung keterlibatan aktif dari masyarakat sipil.3 Ketika pemerintah memberdayakan keterlibatan kelompok-kelompok sipil dalam pemerintahan, secara otomatis legitimasi mereka akan meningkat. Aktor-aktor masyarakat sipil perlu diajak ikut serta dalam menentukan kebijakan publik.

“Governing” dan “Governance” secara asal bahasa berkait dengan bagaimana mengatur dan mengendalikan sesuatu. Tatkala pemerintah hendak mencapai tujuannya, mereka harus sadar konsekuensi-konsekuensi dari tindakan sebelumnya seraya menggunakan feedback-feedback yang muncul dari lingkungan selaku bahan baku (input) kebijakan kemudian.

Pola “mengatur” atau “governing” tradisional ditandai dengan konsenstrasi otoritas yang hirarkis dan ditentukan dari pusat pemerintahan. Dalam Negara demokratis, otoritas itu dihasilkan lewat mekanisme pemilu, sementara di Negara-negara nondemokratis, otoritas datang dari kendali pemerintah atas instrument-instrumen kekuatan di dalam masyarakat. Baik di Negara demokratis maupun nondemokratis, birokrasi publik dikonseptualisasi sebagai bertanggung jawab pada “political masters” mereka, sementara para staf birokrasi publiknya bercorak hirarkis dan bersifat politis.

Tata cara “governing” seperti ini kemudian direformasi lewat NPM (New Public Management). NPM bercara pandang neo-liberal. NPM cenderung mengurangi posisi dominan dari para politisi dalam birokrasi publik. Kerap dalam NPM ini, manager publik (para kepala badan birokrasi) diambil dari kalangan “luar” pemerintahan dengan tujuan mengaplikasikan tata cara baru dalam melakukan pengaturan (governing). Mereka dapat saja diambil dari direktur-direktur perusahaan swasta, praktisi, akademisi, ataupun organisasi-organisasi LSM. Posisi para kepala ini bukan sekadar kepala birokrasi publik tetapi juga “policy entrepreneur” (wirausahawan kebijakan). Sebab itu, kriteria unggulan dalam NPM adalah pada performa bukan lagi pada kriteria politik.

Di Indonesia dapat kita ambil contoh perekrutan Riny Suwandi (Direktur PT. Astra) selaku Menteri Perdagangan atau Sri Mulyani Indrawati (akademisi) selaku Menteri Keuangan. Upaya-upaya ini dilakukan pemerintah demi mengambil perspektif masyarakat sipil dan professional dalam melakukan penataan kehidupan birokrasi publik. Namun, peralihan otoritas menuju para manager ini bukan tanpa risiko. Terkadang terjadi masalah koordinasi dan koherensi kebijakan di kalangan pemerintah sendiri.

“Governance” atau “memerintah bersama” merupakan pendekatan alternative atas “governing” atau tepatnya, administrasi Negara. Governance hakikatnya adalah pelibatan masyarakat secara lebih besar dalam melakukan “governing”. Governance berupaya mengurangi aspek hirarki dalam sistem administrasi Negara. Masalah hirarki ini kerap dicurigai sebagai penyebab hilangnya “orang-orang berbakat” di dalam pemerintahan dan mengasingkat publik.

Dalam konsep “governance”, masalah jaringan atau “network” menempati posisi penting. Network merupakan komponen sentral dalam kerangka “governance.” Asumsi dasarnya adalah, suatu kebijakan lahir akibat pengaruh aneka organisasi sipil, actor sipil, ataupun lembaga-lembaga pemerintah. Interaksi antarkomponen inilah yang kemudian membentuk “network” suatu kebijakan pemerintah.

Network ini diasumsikan mampu mengatur diri sendiri dan mampu membuat serta mengimplementasikan keputusan atas diri mereka. Network ini menyediakan link antara Negara dengan masyarakat. Namun, ia berbeda dengan hubungan di dalam perusahaan atau korporasi. Dalam “governance network” ini, hubungan lebih bersifat otonom dan bahkan mampu mengesampingkan Negara ketimbang melayaninya.

Network ini dapat berupa struktur terbuka yang akan mengakomodasikan luasnya cara pandang dan pula melibatkan partai-partai politik. Di sisi lain, network ini pun dapat berupa struktur tertutup yang hanya terdiri atas keanggotaan dari mereka-mereka yang punya skill atau pengetahuan tertentu. Ketertutupan ini pun ditandai dengan spesifikasi mereka untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan tertentu saja.

Jika NPM hanya mengupayakan desentralisasi implementasi kebijakan, maka “governance” justru mengupayakan pembuatan kebijakan dalam cara yang lebih terdesentralisasi. Dalam “governance” hirarki organisasi lebih bersifat datar dan bersifat bottom-up, ketimbang di NPM yang top-down.

Governance dan Demokrasi

Dalam pengertian umum demokrasi perwakilan, warganegara terlibat dalam penentuan kebijakan hanya secara periodik, di waktu pemilu saja. Kini, lewat konsep “governance” keterlibatan warganegara hendak dilakukan setiap saat. Warganegara dapat terlibat dalam penentuan kebijakan dan cara pelaksanaannya melalui serangkaian aktivitas yang menghubungkan publik pada pemerintah.

Lewat konsepsi “governance” terjadi peralihan lokus keterlibatan publik, dari sekadar input (pemilu) menjadi output (penentuan kebijakan dan pelaksanaannya). Pemerintah dalam persepsi NPM legitimasinya berada dalam hal output mereka atas “customer” (warganegara). Dalam “governance” terdapat lebih elemen demokrasi dan politik yang terlibat dalam legitimasi. Namun, legitimasi politik tersebut bukan berasal dari partai politik dan caleg terpilih, tetapi lebih diturunkan dari kontak-kontak langsung antara warganegara dengan pemerintah, khususnya dengan birokrasi-birokrasi pemerintah. Ini atas asumsi, warganegara lebih banyak bersentuhan dengan para birokrat ketimbang caleg terpilih mereka.

Pada sisi lebih lanjut, kontak-kontak yang terjalin antara warganegara dengan birokrat akan mendorong terbentuknya “trust” dalam sistem pemerintahan dan atas pemerintah itu sendiri. Interaksi ini terjalin juga antara kelompok-kelompok sosial masyarakat dengan pemerintah, yang jika berjalan dengan harmonis, akan mendorong terbentuknya citra positif atas pemerintah.

Governance dan Efektivitas

Demokratisasi dan legitimasi adalah pendekatan dasar memerintah di dalam administrasi Negara. Kendati hirarki merupakan suatu kebutuhan dalam memanage sejumlah besar orang dengan ragam pekerjaan, tetapi model manajemen partisipatif diyakini dapat memuncul efektivitas hasil yang lebih besar lagi. Keterlibatan klien dan publik diyakini punya konsekuensi yang positif pada program-program publik. Efektivitas ini datang dari pengerjaan tugas secara bersama lewat organisasi-organisasi jaringan (network).

Salah satu kelebihan dari jaringan organisasi ini adalah terlibatnya birokrat di lini depan dalam pembuatan keputusan. Jadi, tatkala suatu masalah muncul dan diidentifikasi sumber dan solusinya, dengan bantuan organisasi-organisasi masyarakat sipil, birokrat lini depan langsung mengambil inisiatif tindakan. Keputusan yang diambil punya nilai legitimasi karena melibatkan organisasi publik nonpemerintah.

Pem-bypass-an pengambilan keputusan ini mampu menembus kerumitan pembuatan kebijakan baru yang melanda hirarki pembuatan keputusan birokrasi secara tradisional. Tentu saja, masalah yang kemudian muncul adalah integrasi antar kebijakan dan struktur lini birokrasi yang berbeda-beda. Namun, jika ditinjau dari sisi efektivitas, maka cara pembuatan di lini cukup cepat. Tentu saja tanpa menghilangkan derajat integrasi antar kebijakan itu.

Salah satu unsur penting dalam efektivitas ini adalah responsivitas. Responsivitas adalah kemampuan birokrasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, serta mengembangkan program-program pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.4 Responsivitas ini berkait erat dengan actor yang mempengaruhi pembuatan keputusan dan pelaksanaannya. Pertama, birokrat di tingkat lini secara otomatis lebih mengetahui problem masyarakat akibat ia bersentuhan langsung. Kedua, elemen masyarakat (biasanya organisasi kemasyarakatan) merupakan saluran masyarakat dalam menghadapi Negara, yang harus dilibatkan dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan.

Kesimpulan

Pertama, seluruh pemerintahan di dunia pasti pernah mengalami reformasi dan reorganisasi sektoru administrasi publik atau birokrasi. Kedua, dua pendekatan yang perlu digarisbawahi dalam mengidentifikasi hubungan antara birokrasi dan demokrasi pada sector public adalah Governing dan Governance. Ketiga, governing erat berkait dengan aspek mengatur ataupun menggariskan, di mana peran pemerintah tetap sebagai satu-satunya aktor yang berhak mengambil kebijakan, keputusan, dan tata cara pelaksanaannya. Pada ujungnya, reformasi dalam governing berwujud pada pendekatan New Public Management.

Keempat, governance erat berkait dengan aspek memerintah secara bersama. Dalam konsep ini, pemerintaha duduk bersama organisasi-organisasi masyarakat mengambil keputusan, kebijakan, dan tata cara pelaksanaannya. Peran yang diperbesar dalam governance adalah birokrat lini. Kelima, dalam kaitannya dengan demokrasi, governance menghendaki keterlibatan warganegara dalam pemerintahan tidak hanya pada saat pemilu saja. Dalam kaitannya dengan efektivitas, governance memangkas kelambanan dan insensitivitas yang biasanya berkembang dalam sistem pengambilan keputusan terpusat dan hirarkis.


Referensi
Agus Dwiyanto, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006)
B. Guy Peters, Governance and Publik Bureaucracy: New Forms of Democracy or New Forms of Control?, (The Asia Pacific Journal of Publik Administration Vol. 26, No.1 June 2004)

Lihat juga :

Keyword :
posisi aparatur sebagai pelaksana birokrasi posisi birokrasi posisi birokrasi dalam masyarakat dan negara posisi birokrasi dalam negara posisi birokrasi dalam pemerintahan wanita menduduki posisi birokrasi posisi aparatur sebagai pelaksana birokrasi posisi birokrasi posisi birokrasi dalam masyarakat dan negara posisi birokrasi dalam negara posisi birokrasi dalam pemerintahan wanita menduduki posisi birokrasi posisi aparatur sebagai pelaksana birokrasi posisi birokrasi posisi birokrasi dalam masyarakat dan negara posisi birokrasi dalam negara posisi birokrasi dalam pemerintahan wanita menduduki posisi birokrasi posisi aparatur sebagai pelaksana birokrasi posisi birokrasi posisi birokrasi dalam masyarakat dan negara posisi birokrasi dalam negara posisi birokrasi dalam pemerintahan wanita menduduki posisi birokrasi posisi aparatur sebagai pelaksana birokrasi posisi birokrasi posisi birokrasi dalam masyarakat dan negara posisi birokrasi dalam negara posisi birokrasi dalam pemerintahan wanita menduduki posisi birokrasi /span>

Post a Comment

أحدث أقدم